Pendakian Perdanaku di Gunung Api Purba Nglanggeran
Senin, 05 Mei 2025 menjadi langkah awal saya menjajal dunia pendakian. Bukan gunung tinggi dengan jalur ekstrem, tapi sebuah tempat yang memikat hati dan penuh cerita: Gunung Api Purba Nglanggeran di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Meski dikenal ramah untuk pendaki pemula, gunung ini menyimpan nuansa misterius dan pengalaman yang tak biasa.
Tiket masuk ke kawasan ini sangat terjangkau, hanya Rp15.000 per orang, dan petugas di pos tiket dengan ramah memberi arahan singkat. Udara pagi terasa bersih dan angin berhembus pelan. Meski langit agak berawan, suasananya tenang. Tak banyak pengunjung saat itu mungkin karena hari kerja dan itu justru membuat pengalaman mendaki terasa lebih pribadi dan mendalam.
Gunung Sakral yang Diam-Diam Bercerita
Sejak awal, aura Gunung Nglanggeran memang berbeda. Gunung ini dianggap sakral oleh masyarakat setempat, dan dipercaya menyimpan energi alam yang kuat. Tidak jarang orang mengaitkannya dengan kisah-kisah spiritual. Tapi yang menarik, ada sisi ilmiah dari “kesakralan” itu: gunung ini dulunya adalah gunung berapi aktif yang terbentuk 60–70 juta tahun lalu.
Bahkan, menurut informasi yang saya baca dari papan edukasi di area bawah, di kawasan ini pernah ditemukan fosil dinosaurus. Bayangkan, sebuah gunung yang dulu menyemburkan magma kini menjadi tempat rekreasi yang bisa didaki siapa saja, sekaligus menyimpan jejak kehidupan purba yang menakjubkan. Rasanya seperti berjalan di antara waktu — antara masa lalu bumi dan langkah-langkah kita hari ini.
Melewati Empat Pos: Mendaki Sambil Menyerap
Jalur pendakian dibagi menjadi empat pos utama, dengan jalur yang cukup tertata. Di pos pertama dan kedua, jalan masih cukup ramah, dengan batu-batu besar dan akar pohon yang bisa dijadikan pijakan. Memasuki pos tiga dan empat, jalur mulai menanjak curam dan menyempit, memaksa saya menggunakan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan di antara bebatuan tinggi.
Tapi semuanya terasa menyenangkan. Alamnya masih sangat asri, suara burung liar sesekali terdengar, dan aroma tanah basah membuat perjalanan terasa segar. Di pos empat, saya bertemu dengan dua orang turis mancanegara yang tampaknya sedang backpackeran. Kami sempat bertukar senyum dan sapa hal kecil yang memperkaya pengalaman hari itu.
Puncak dan Pulang: Tenang, Sakral, dan Jujur
Sampai di puncak, saya menyaksikan pemandangan yang membentang luas: hamparan perbukitan, desa-desa kecil, dan langit yang terbuka lebar. Angin bertiup sejuk, membuat peluh dan lelah seketika hilang.
Saat perjalanan turun, jalur sedikit berbeda. Di akhir trek, saya menemukan kantin kejujuran kulkas kecil berisi minuman segar dengan harga yang bisa dibayar langsung ke kotak. Tidak ada penjaga, hanya tulisan “Silakan ambil dan bayar seikhlasnya.” Di dekatnya juga tersedia tempat sampah yang rapi, membuktikan bahwa kejujuran dan kebersihan bisa berjalan berdampingan, bahkan di tempat sesunyi ini.
Penutup
Gunung Api Purba Nglanggeran bukan sekadar tempat mendaki, tetapi merupakan ruang untuk merenung, belajar, dan menyatu dengan alam dan waktu. Dari jalur berbatu, cerita sakral, jejak dinosaurus purba, hingga kantin kejujuran yang sederhana, semuanya meninggalkan kesan tersendiri. Dan bagi saya pribadi, ini bukan sekadar pendakian pertama, tapi juga permulaan dari perjalanan panjang mengenal diri dan dunia di luar rutinitas.
*Kamu pernah ke Nglanggeran juga? Atau punya cerita menarik saat solo hiking? Boleh banget berbagi di kolom komentar!
Komentar
Posting Komentar