Pendakian Keduaku di Gunung Andong

Setelah pengalaman mendaki Gunung Api Purba Nglanggeran, rasa penasaran saya terhadap dunia pendakian justru makin tumbuh. Maka pada Senin 26 Mei 2025 saya kembali melangkah, kali ini menuju Gunung Andong di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gunung ini memang tidak terlalu tinggi sekitar 1.726 mdpl, tetapi sering disebut sebagai “gunung kecil rasa besar” karena jalurnya yang cukup menanjak dan pemandangan puncaknya yang terkenal memukau.

Via Sawit dan Kabut yang Menyambut

Dari tiga jalur resmi menuju puncak (Via Sawit, Pendem, dan Gogik) saya memilih jalur Via Sawit yang paling populer dan mengambil jalur lama. Biaya registrasi pendakian Rp15.000, dibayarkan di basecamp Sawit. Jalur ini langsung menanjak sejak awal, tanpa banyak basa-basi.

Yang menarik, dalam perjalanan cuaca tiba-tiba hujan hingga menyita beberapa jam untuk meneduh. Sesampainya di basecamp disambut rintik gerimis dan cuaca pagi itu diselimuti kabut tebal sejak melangkah dari gerbang pendakian. Pepohonan tampak samar, dan jalur tanah merah terlihat kontras dengan putihnya kabut. Namun, bukannya mencekam, suasana ini justru terasa tenang dan syahdu.

Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan seorang warga lokal yang sedang turun, dengan santai menggunakan trekking pole dari kayu. Beliau menyapa ramah, dan kami sempat bertegur sapa dan saling memberikan semangat beberapa menit. Dari beliau saya tahu bahwa jalur ini memang sering digunakan warga setempat untuk aktivitas harian, bahkan untuk ke ladang kecil di lereng gunung.

Naik Dalam Kabut, Tapi Hati Terang

Meskipun tidak bisa melihat jauh ke depan karena kabut yang sangat tebal, pendakian terasa menyenangkan. Jalur tanah yang basah dan agak licin, beberapa akar pohon dan batu besar menjadi pijakan alami. Saya berhenti sejenak di beberapa titik untuk mengatur napas dan menikmati diamnya alam.

Pendakian memakan waktu sekitar satu jam lebih dengan tempo santai. Tidak banyak pendaki lain hari itu, membuat suasana benar-benar terasa seperti perjalanan pribadi. Gunung Andong benar-benar seperti guru yang tenang tidak banyak bicara, tapi penuh makna.

Warung, Kucing, dan Kabut di Puncak

Sesampainya di puncak, kabut tetap tebal. Tidak ada panorama luas seperti yang sering terlihat di foto-foto. Tapi justru di balik kabut itu, saya menemukan kehangatan yang tidak saya sangka.

Di area puncak terdapat beberapa warung sederhana yang tetap buka. Salah satunya menjual teh hangat dan gorengan, yang langsung saya pesan sambil duduk santai di bangku kayu. Di warung itu juga saya bertemu seekor kucing berbulu abu-abu, yang tampak akrab dengan pengunjung dan aktif bergerak kesana kesini mengikuti pendaki yang naik. Bayangan kabut di sekelilingnya membuat pemandangan itu terasa seperti potongan adegan film.

Kabut membuat suasana puncak menjadi sunyi, misterius, dan menenangkan. Tanpa pemandangan luas pun, saya tetap merasa disambut dengan cara yang berbeda. Mungkin bukan visual yang membuat gunung ini istimewa, tapi atmosfer dan segala hal kecil yang menyertainya.

Turun Saat Langit Mulai Terbuka

Menjelang siang, saat saya bersiap turun, kabut mulai menipis dan langit perlahan cerah. Jalur yang tadi tertutup kini mulai terlihat jelas. Warna hijau pepohonan dan bentuk jalur tanah menjadi lebih tajam, seolah gunung baru memperlihatkan wajah aslinya setelah yakin bahwa saya telah sampai dengan sungguh-sungguh.

Perjalanan turun terasa ringan. Saya sempat berhenti beberapa kali hanya untuk melihat kembali ke atas ke arah puncak yang tadi saya lalui dalam kabut tebal sembari menikmati sejuknya hutan pinus. Rasanya seperti baru keluar dari sebuah ruang meditasi. Saya juga sempat terpeleset beberapa kali saat turun karena medan yang licin, hal itu menjadi hal yang tak terlupakan dan menjadi bagian memori yang menyenangkan bagi saya. 

Penutup

Gunung Andong memberi saya pengalaman berbeda. Tidak ada matahari terbit atau lautan awan seperti yang sering diharapkan pendaki. Tapi kabut yang tebal, sapa hangat warga lokal, warung kecil di puncak, dan seekor kucing lucu menjadi bagian dari cerita yang justru lebih membekas.

Pendakian ini mengajarkan bahwa keindahan tidak selalu harus terlihat jelas, dan kadang, justru yang samar dan sederhana itulah yang paling menyentuh.

*Kamu pernah naik gunung saat berkabut? Atau punya momen tak terlupakan di puncak? Ceritain di kolom komentar, ya!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

7 Tips Efektif Belajar IPS agar Tidak Membosankan

Menjadi Bagian dari ASPD 2025- Catatan Kecil Seorang Fasilitator

Pendakian Perdanaku di Gunung Api Purba Nglanggeran